Bangga Jadi Orang Miskin


Kebiasaan masyarakat Indonesia , kreatif mempergunakan kesempatan. Namun, kesempatan yang dimaksud di sini adalah hal-hal yang kurang baik dan cenderung memalukan. Entahlah, mungkin karena taraf pendiikan yang terlalu rendah, atau salah arah pendidikan. Kian hari, kian banyak bertebaran generasi-generasi pengemis, pemalas, tidak berpengetahuan, dan berpikiran instan.


Perhatikan berbagai even yang digembar-gemborkan memberikan hasil instan dan cepat tanpa perlu banyak keluar modal dan usaha. Yang penting bisa untung, entah prosesnya gimana terserah, mungkin demikan pemikiran mereka. Hal-hal demikian ini dapat kita temui dalam berbagai bentuk, baik yang halal maupun yang haram. Contohnya dalam hal yang haram, merebaknya berbagai bentuk perjudian skala kecil semacam perjudian tukang becak dan preman pasar pakai kartu maupun domino dengan omset kecil, sampai taraf level tingkat tinggi pakai mesin judi slot dan rollet dengan omset jutaan. Ada pula bentuk-bentuk perjudian terselubung melalui media elektronik, termasuk penggunaan SMS premium yang berharga mahal dan diundi dengan iming-iming hadiah besar, padahal tidak semuanya mendapatkan hasil. Lebih banyak dari mereka yang rugi dan sekedar ditipu saja. Para penjudi ini berdalih untuk menambah penghasilan, mereka berusaha mendapat kesenangan dan terbuai harapan mendapatkan keuntungan secara instan. Itulah para pemalas.


Dalam bentuk yang halal dan baik juga demikian adanya, banyak manusia yang kreatif dan pintar mengakali. Liat aja kasus-kasus BLT, orang-orang pada berebut untuk dimasukkan dalam daftar orang miskin agar menerima uang instan. Mereka berlagak jadi orang miskin di bawah garis standar hidup, padahal punya TV, kulkas, rumah lumayan, bahkan punya perhiasan emas. Ada lagi even pembagian zakat fitrah, zakat maal, daging kurban, dan sebagainya. Banyak yang berlomba-lomba menuju kemiskinan. Mereka turut antri dan berdesak-desakan dengan orang-orang lainnya yang memang berhak menerima pembagian itu. Mereka tidak punya malu lagi, tidak merasa bahwa kelakuan-kelakuan semacam itu adalah salah dan memalukan. Persis juga dengan orang-orang yang pura-pura miskin kemudian berkeliling kota mencari-cari sumbangan mengatasnamakan yayasan yatim piatu, dan sebagainya. Sedangkan orang-orang yang benar-benar miskin susah hidup dan harus bersaing penghidupan dengan para penyerobot kreatif tadi.


Demikianlah, banyak di sekitar kita, manusia yang kreatif sedemikian, tidak punya malu menyerobot hak-hak saudaranya yang lain yang benar-benar miskin. Hal ini sebenarnya adalah juga salah satu jenis korupsi yang makin kuat mengakar dalam tingkah laku bangsa kita. Lantas kenapa negara tidak bersungguh-sungguh mengelola keuangan yang berasal dari zakat, sumbangan, infaq, pajak, dan lain sebagainya untuk alokasi penghidupan kaum miskin dan anak terlantar. Padahal kaum miskin dan anak terlantar seharusnya menjadi tanggungan negara. Beberapa waktu lalu telah diadakan peraturan pelarangan memberikan uang kepada pengemis dan gelandangan di jalanan kota-kota besar, tetapi solusi untuk mengcover penghidupan mereka tidak dioptimalkan, demikian pula tunjangan pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan lain sebagainya susah diperoleh oleh kaum miskin.


Lantas keuangan ini kemana mengalirnya??? Apakah masuk kantong pejabat atas alias di korupsi???

Begitu pula pembagian kurban, zakat, BLT, dan sebagainya, sepertinya masih banyak salah sasaran, termakan orang-orang yang memiskinkan diri dan tukang serobot hak orang-orang lain yang seharusnya menerimanya. Hal-hal semacam ini kenapa tidak ditertibkan??? Atau memang dikondisikan demikian agar manusia-manusia Indonesia tetap menjadi generasi pemalas, tidak tahu malu, dan jadi tukang serobot. Mulai dari pejabat atas hingga komunitas rakyat jelatanya mengakar sikap korupsi dan sifat tidak tahu malu.


Naudzubillah.

Kapan berubah???

Powered by Blogger.